Setelah di “Paseban Njawi” semua bala Kurawa siap menunggu informasi dari sang Paman, Patih Sengkuni, ya Harya Suman, ya sang Gantalpati. Dialong (ginem) berlangsung.
Sengkuni : “Anak-anaku Kurawa semuanya. Dalam kesempatan ini kalian semua tidak perlu bicara sendiri-sendiri seperti burung bersautan.”
Semua bala Kurawa terdiam kecuali Durmagati yang mbeling berani menyampaikan pendapatnya.
Durmagati : “Interupsi, Man ! Durmagati oke-oke saja, tapi mau usul pendapat. Ini sekedar pendapat, lho Man ?”
Sengkuni : “Baik, Dur…! Yo cepat, apa pendapatmu?”
Durmagati : “Ya, Paman Sengkuni harus obyektif menyampaikan informasi dari Kakaprabu Duryudana, lho Man ? Jangan diplintir-plintir, diputarbalikkan. Karena Paman nanti bisa diasumsikan sebagai melakukan pembohongan publik.”
Sang Paman, Sengkuni, merah padam mukanya mendengar ucapan Durmagati. Dengan kesal menuding-tuding Durmagati.
Sengkuni : “Kurang ajar ! Anak kemaren sore berani menasehati orang tua.”
Durmagati : “Lho, nanti dulu, Man. Anak saya juga pernah manasehati saya, lho Man ?”
Sengkuni : “Anakmu ?”
Durmagati : “Ya…! Pak, bapakku Durmagati yang terhormat. Begitu kok Man bilangnya.”
Sengkuni : “Anakmu ?”
Durmagati : “Ya…! Eh, anaknya isteri saya, Man. Tapi subsidi BBM-nya kan dari saya, Man…! Kalau bapak mau jadi orang sakti, contohlah ….”
Sengkuni : “Anakmu ?”
Durmagati : “Ya…, ya!”
Sengkuni : “Terus dibilang, contohlah kakek Sengkuni…?”
Durmagati : “Tidak! Contohlah kakek buyut Resi Bisma, Dewabrata. Kalau bapak mau jadi orang bijaksana, contohlah ….”
Sengkuni : “Kakek Sengkuni…?”
Durmagati : “Tidak! Contohlah paman Sri Batara Kresna. Kalau bapak mau jadi orang sabar, contohlah ….”
Sengkuni : “Kakek Sengkuni…?”
Durmagati : “Tidak! Contohlah paman Puntadewa, Yudistira. Kalau mau sukses jadi bandar judi, provokator, pemfitnah, dan KKN, contohlah….”
Sengkuni : “Huk huk huk …?”
Durmagati : “Lho, kok batuknya kambuh, ya Man?”
Sengkuni : “Anakmu ?”
Durmagati : “Ya! Teruskan saja, bapak kumpul dengan Kakek Sengkuni dan contoh…!”
Sengkuni : “Dur ! Jangan memfitnah orang tua ! Jika paman tuntut balik terkena pasal pencemaran nama baik kamu, lho Dur ?” Kamu telah melakukan pembunuhan karakter terhadap pamanmu sendiri, Dur ? Berarti kamu mematikan karir politik pamanmu sendiri.”
Durmagati : “Ya, terserahlah, Man. Semuanya itu fakta, lho Man?”
Sengkuni : “Eh, bocah mbeling. Itu semua fitnah ! Hanya pembentukan opini publik, tahu ?”
Durmagati : “Man, paman Sengkuni apa lupa ? Apa paman tidak sukses jadi bandar judi ?”
Sengkuni : “Kapan, mana buktinya?”
Durmagati : “Man, paman Sengkuni jangan pura-pura lupa ? Paman ingat ketika lakon Pendawa Dadu ? Hayo, siapa bandarnya ?”
Sengkuni : “Huk huk huk …?”
Durmagati : “Tidak usah batuk-batuk, Man?”
Sengkuni : “Yang lain mana buktinya?”
Durmagati : “Tidak usah ngotot Man, nanti paman malu sendiri.”
Sengkuni : “Mana buktinya?”
Durmagati : “Buktinya banyak, Man. Paman lupa ? Ingat, mulai lakon Gandamana Tundung atau Gandamana Luweng, siapa provokator, pemfitnah, dan pencetus KKN-nya, hayo?”
Sengkuni : “Tapi Dur, semua itu kan untuk keponakan-keponakanku para Kurawa, anak-anak Kakangmbok Ayu Dewi Gendari, termasuk kamu juga, tha ?”
Durmagati terdiam sambil mengangguk-angguk. Sementara Dursasana, Kartamarma, dan yang lainnya hanya tersenyum.
Durmagati : “Ha ? Ya, ya…?”
Sengkuni : “Eh, sudah ! Anak-anakku Kurawa semuanya. Jangan didengarkan omongan Durmagati. Anak kemaren sore berani nasehati orang tua. Anak Prabu Duryudana sudah memberikan perintah. Kita berangkat semua keluar daerah, ke Gunung Kutarunggu, daerah Swelagiri, untuk mencari Wahyu Makutarama.”
Durmagati : “Ya! Tapi jangan lupa lho Man. SPPD-nya ? Soal hasilnya, dapat wahyu atau tidak, tidak perlu dipikir, Man. Ya, tha Man? Ini kan juga bagian dari transparansi dan reformasi birokrasi di negeri Astina, tha Man?”
Sengkuni : “Dasar…, bener-bener mbeling !”
Akhirnya, semua bala Kurawa berangkat menuju Gunung Kutarunggu, di daerah Swelagiri untuk mencari wahyu sebagaimana yang diperintahkan oleh Sang Prabu Duryudana.